Monday, 2 June 2014

Makalah Maslahah Mursalah



MAKALAH
MASLAHAH MURSALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul fiqh
Dosen Pengampu: Muh.syaifudin zuhri, M.Ag




Disusun oleh:
Anam muzaka (124211025)
Abdul muhaimin (124211014)

Vina Inayatul Maula (124211008)


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG


BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya masyarakat, setumpuk problematika kehidupun muncul kepermukaan. Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan atas. Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial-politik. Semua itu memerlukan jawaban yang mapan.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi harkat manusia dengan misi utamanya "rahmatan lil alamin" , tertantang untuk menjawab semua problem di atas.
Tapi benarkah Islam menjadi rahmat bagi segenap manusia, sementara sebagian hukumnya–seperti yang terekam dalam sejumlah kitab klasik- terkesan sangat memberatkan? Keraguan ini sangat beralasan, akan tetapi bisakah keraguan itu dibenarkan? Ataukah keraguan tersebut hanya sebatas keraguan yang tak beralasan karena kurang memahami prinsip hukum Islam?
Menurut Al Ghazali, maslahah harus sejalan dengan tujuan syariat, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia. Sebab, kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia tidak selamanya didasarkan pada tujuan syariat. Tapi, sering didasarkan pada hawa nafsunya. Oleh karena itu, parameter untuk menentukan kemaslahatan itu adalah tujuan syariat.

II. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian mashlahah mursalah.
2. Maslahah mursalah sebagai metode ijtihad.
3. Perbedaan pendapat Ulama’ atas mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad.
4. Macam macam mashlahah.







BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian mashlahah mursalah ( المصلحة المرسلة )
Secara etimologi, mashlahah mursalah berasal dari dua kata, yaitu kata  (المصلحة)  yang berarti  manfaat, baik dari segi lafazd maupun ma’na atau sesuatu pekerjaan yang mengandung manfaat, dan kata (المرسلة) adalah isim maf ul (objek) dari fiil madhi (kata dasar) dalam bentuk stulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu (رسل), dengan penambahan huruf  “alif”  dipangkalnya, sehingga menjadi (ارسل) . secara etimologis (bahasa) artinya “terlepas”, atau dalam arti (مطلقة) (bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” disini bila dihubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.Secara terminologis,Maslahah mursalah adalah :

المصلحة التى لم  يشرع الشارع حكما لتحقيقها ولم يدل دليل شرعي علي اعتبارها او الغاىها

Mashlahah yang tidak ditentukan hukumnya oleh syar’i dan tidak ada dalil syar’I yang mengakui atau menolaknya.

Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat-maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-mashlahah. Tentang arti mashlahah telah dijelaskan di atas, secara etimologis (bahasa) dan terminologis (istilah).Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang mashlahah mursalah,namun masing masing memiliki persamaan dan berdekatan pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah :
1.      Al-ghozali dalam kitab Al mustasyfa merumuskan maslahah mursalah sebagai berikut :
مَالَمْ  يشهد له من الشرع بالبطلان ولا بالاعتبار نٌص معيٌن
Apa apa (mashlaahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memerhatikannya.
2.      Asy syaukani dalam kitab irsyad al-fuhul memberikan definisi :
المناسب الٌذى لا يعلم انٌ الشارع الغاه اواعتبره
Mashlahah yang tidak diketahui apakah syar’i menolaknya atau  memperhitungkannya.
3.      Ibnu qudamah dari ulama hanbali member rumusan :
مالم يشهد له ابطال ولا اعتبار معيٌن
Maslahat yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula yang memerhatikannya.
4.      Yusuf Hamid al-alim memberi  rumusan  :
مالم يشهد الشرع لا لبطلانها ولا لاعتبارها
Apa-apa (maslahah) yang tidak ada petunjuk syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memerhatikannya.
5.     Jalal al-din Abd al-rahman member rumusan yang lebih luas :
المصالح الملاىمة لمقاصد الشارع ولا يشهد لها اصل خاص ٌ باعتبار او بالالغاء
Maslahah yang selaras dengan tujuan syar’i (pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.
6.     Abd al-wahhab al-khallaf memberi rumusan berikut :
انٌها مصلحة لم يرد عن الشارع دليل لاعتبار ها او لالغاءها
Mashlahah mursalah ialah maslahat yng tida ada dalil syara’ dating untuk mengakuinya atau menolaknya.
7.      Muhammad Abu zahrah member definisi yang hampir sama dengan rumusan jalal al-din di atas,yaitu :
هي المصالح الملاىمة لمقاصد الشارع الاسلامي ولا يشهد لها اصل خاصٌ  باعتبار او بالالغاء
Maslahah yang selaras dengan tujuan syari’at islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.

Dari beberapa rumusan definisi di atas, dapat di tarik kesimpulan tentang hakikat dari mashlahah mursalah tersebut, sebagai berikut :
1.      Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
2.      Apa yang baik menurut akal itu,juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
3.      Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk  syara’ yang mengakuinya.[1]

B. Maslahah mursalah sebagai metode ijtihad
Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah ini tidaklah menggunakannya tanpa syarat. Akan tetapi ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Yang merupakan syarat umum penggunaan metode ini hanya ketika tidak ditemukannya nash sebagai bahan rujukan.
Adapun syarat syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan menggunakan Mashlahah mursalah, diantaranya:
Ø  Mashlahah mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum,dalam arti dapat di terima oleh akal sehat bahwa ia betul – betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan dari mudarart dari manusia secara utuh.
Ø  Yang di nilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul - betul  telah sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.
Ø  Yang menilai akal sehat sebagai suatu  mashlahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash Al-qur’an dan sunah,maupun ijma’ ulama’ terdahulu.
Ø  Mashlahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini ,maka umat akan berada dalam kesempitan hidup , dengan arti harus di tempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.[2]





C. Perbedaan pendapat Ulama’ atas mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad
Dalam menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad ini, terdapat dua kelompok Ulama yang berbeda pendapat. Yang  mana masing – masing kelompok ini mengemukakan argumentasi, yang kebanyakan berbentuk argumen rasional.
Argumentasi kalangan ulama’ yang mengggunakan mashlahah mursalah ,diantaranya:
1)      Adanya takrir (pengakuan) Nabi atas penjelasan mu’adz ibn jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan Ayat al-qur’an dan sunah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang di tangkap mashlahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
2)      Suatu mashlahah bila telah nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (syar’i), maka menggunakan mashlahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i,meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
3)      Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metode mashlahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan, seperti ditegaskan dalam surat al-baqarah (2) :185 dan Nabi pun menghendaki umatnya untuk menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya. [3]
Dalam bukunya Abdul Wahhab Khallaf yang berjudul Ilmu Ushul Fiqh menyebutkan ada dua alasan metode ini di gunakan. Pertama, bahwa kemaslahatan ummat manusia ini selalu barudan tidak habis – habisnya. Kedua, orang yang meneliti pembentukan hukum oleh para sahabat, tabi’in, dan para mujtahid lainnya, maka ia akan merasa jelas bahwasannya mereka telah mensyariatkan berbagai hukum untuk merealisir kemaslahatan umum, bukan karena adanya dalil yang mengakuinya. [4]
Sedangkan kelompok ulama’ yang menolak mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad mengemukakan argumentasi yang di antaranya :
1.      Bila suatu mashlahah ada petunjuk syar’i yang membenarkannya atau yang disebut mu’tabarah,maka ia termasuk dalam umunya qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin di sebut sebagai suatu mashlahah. Mengamalkan sesuatu yang di luar petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al-qur’an atau sunah Nabi. Hal ini juga berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah nabi. Padahal Al-qur’an dan sunah Nabi menyatakan bahwa Al-qur’an dan sunah itu telah sempurna dan meliputi semuanya.
2.      Menggunakan mashlahah dalam ber ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian menyalahi prinsip penetapan hukum dalam islam,yaitu “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang di rusak”.
3.      Seandainya di perbolehkan ber ijtihad dengan mashlahah yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alas an berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya hukum syara’ ,juga berlainan antara seseorang dengan orang lain. Dalam keadaan demikian, tidak aka nada kepastian hukum. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi semua umat islam.[5]
Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya juga menyebutkan ada dua alasan ulama yang menolak kehujjahanya. Pertama, bahwa Syariat telah memelihara segala kemaslahatan dalam nash – nashnya dan dengan petunjuk berupa qiyas. Kedua, bahwa pembentukan hukum atas dasar kemutlakan kemaslahatan yang juga berarti bisa membuka pintu masuk hawa nafsu orang yang menurutinya.[6]

D. Macam macam mashlahah
Dalam membicarakan mashlahah sebagai dalil hukum,pada umumnya ulama' lebih dahulu meninjaunya dari segi ada aatau tidaknya  kesaksian syara' (syahadah asy-syar'i) terhadapnya, baik kesaksian tersebut  bersifat mengakui sebagai al-mashlahah ataupun tidak. Dalam hal ini jumhur ulama' membagi al-mashlahah kepada tiga macam, yaitu sebagai berikut.
1.        Al-mashlahah yang terdapat kesaksian syara' dalam mengakui keberadaannya (ma syahid asy-syar' lii'tibariha)
Al-mashlahah dalam bentuk ini menjelma menjadi landasan dalam al-qiyas (analogi).mashlahah ini biasa disebut dengan istilah al-mashlahah al-mu'tabarah.semua ulama sepakat menyatakan, al-mashlahah ini merupakan hujjah
(landasan hukum).
2.        Al-mashlahah yang terdapat kesaksian syara' yang membatalkannya/menolaknya (ma syahid asy-syar' li buthlaniha)
Mashlahah yang ini bathil,dalam arti tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena ia bertentangan dengan  nash.mashlahah ini dapat disebut dengan al-mashlahah al-mulgha.
3.        Al-mashlahah yang tidak dapat kesaksian syara' ,baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya dalam bentuk nash tertentu (ma lam yasyhad asy-syar' la libuthlaniha nash muayyan). [7]

KESIMPULAN
Bahwasanya metode ijtihad dengan cara maslahah mursalah ini terdapat beberapa ulama yang berbeda pendapat akan kehujjahanya. Yang mana masing – masing ulama ini mempunyai alasan tersendiri.
Adapun jika metode ini di pakai, maka terdapat pula syarat – syarat yang harus di penuhi.













DAFTAR PUSTAKA
Dahlan MA, H Abdul Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Sinar Grafika:Jakarta
Khallaf Wahhab, Abdul. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Toha Putra Group: Semarang
Syarifudin, Dr. H Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid II. Kencana Media Group: Jakarta.





















[1] Dr. H Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid II (Jakarta: Kencana Media Group, 2011), hlm. 354-356
[2] Ibid, hlm. 359-360
[3] Dr. H Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid II (Jakarta: Kencana Media Group, 2011), hlm. 360
[4] Prof. Abdul Khallaf Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh (Semarang : Toha Putra Group, 1994), hlm. 117 - 118
[5] Dr. H Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid II (Jakarta: Kencana Media Group, 2011), hlm. 360
[6] Prof. Abdul Khallaf Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh (Semarang : Toha Putra Group, 1994), hlm. 121 - 122
[7] H Abdul Rahman Dahlan MA.. Ushul Fiqh. (Jakarta: Sinar Grafik, 2010),hlm. 207-209

0 comments:

Post a Comment