MAKALAH
MASLAHAH MURSALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul fiqh
Dosen Pengampu: Muh.syaifudin zuhri, M.Ag
Disusun
oleh:
Anam muzaka (124211025)
Abdul muhaimin (124211014)
Vina Inayatul Maula
(124211008)
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR
BELAKANG
Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya
masyarakat, setumpuk problematika kehidupun muncul kepermukaan. Mulai dari
permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan atas. Mulai dari
masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial-politik. Semua itu
memerlukan jawaban yang mapan.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi harkat manusia dengan misi
utamanya "rahmatan lil alamin" , tertantang untuk menjawab semua
problem di atas.
Tapi benarkah Islam menjadi rahmat bagi segenap manusia, sementara
sebagian hukumnya–seperti yang terekam dalam sejumlah kitab klasik- terkesan
sangat memberatkan? Keraguan ini sangat beralasan, akan tetapi bisakah keraguan
itu dibenarkan? Ataukah keraguan tersebut hanya sebatas keraguan yang tak
beralasan karena kurang memahami prinsip hukum Islam?
Menurut Al Ghazali, maslahah harus sejalan dengan tujuan syariat,
sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia. Sebab, kemaslahatan yang
dikehendaki oleh manusia tidak selamanya didasarkan pada tujuan syariat. Tapi,
sering didasarkan pada hawa nafsunya. Oleh karena itu, parameter untuk
menentukan kemaslahatan itu adalah tujuan syariat.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian
mashlahah mursalah.
2. Maslahah mursalah sebagai metode ijtihad.
3. Perbedaan pendapat Ulama’ atas mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad.
4. Macam
macam mashlahah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian mashlahah mursalah ( المصلحة المرسلة )
Secara etimologi, mashlahah mursalah berasal dari dua kata, yaitu
kata (المصلحة) yang berarti
manfaat, baik dari segi lafazd maupun ma’na atau sesuatu pekerjaan yang
mengandung manfaat, dan kata (المرسلة) adalah isim maf ul (objek) dari fiil
madhi (kata dasar) dalam bentuk stulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu (رسل),
dengan penambahan huruf “alif” dipangkalnya, sehingga menjadi (ارسل) .
secara etimologis (bahasa) artinya “terlepas”, atau dalam arti (مطلقة) (bebas).
Kata
“terlepas” dan “bebas” disini bila dihubungkan dengan kata mashlahah maksudnya
adalah “terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak
bolehnya dilakukan.Secara terminologis,Maslahah mursalah adalah :
المصلحة
التى لم يشرع الشارع حكما لتحقيقها ولم
يدل دليل شرعي علي اعتبارها او الغاىها
Mashlahah
yang tidak ditentukan hukumnya oleh syar’i dan
tidak ada dalil syar’I yang mengakui atau menolaknya.
Mashlahah
mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk
sifat-maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukkan bahwa ia merupakan
bagian dari al-mashlahah. Tentang arti mashlahah telah dijelaskan di atas,
secara etimologis (bahasa) dan terminologis (istilah).Ada beberapa rumusan
definisi yang berbeda tentang mashlahah mursalah,namun masing masing memiliki
persamaan dan berdekatan pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah :
1.
Al-ghozali dalam kitab Al
mustasyfa merumuskan maslahah mursalah sebagai berikut :
مَالَمْ يشهد
له من الشرع بالبطلان ولا بالاعتبار نٌص معيٌن
Apa apa (mashlaahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam
bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memerhatikannya.
2.
Asy syaukani dalam kitab irsyad
al-fuhul memberikan definisi :
المناسب الٌذى لا يعلم انٌ الشارع الغاه اواعتبره
Mashlahah yang tidak diketahui apakah syar’i
menolaknya atau memperhitungkannya.
3.
Ibnu qudamah dari ulama hanbali
member rumusan :
مالم يشهد له ابطال ولا اعتبار معيٌن
Maslahat yang tidak ada bukti petunjuk tertentu
yang membatalkannya dan tidak pula yang memerhatikannya.
4.
Yusuf Hamid al-alim memberi rumusan
:
مالم يشهد الشرع لا لبطلانها ولا لاعتبارها
Apa-apa (maslahah) yang tidak ada petunjuk syara’
tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk memerhatikannya.
5.
Jalal al-din Abd al-rahman member
rumusan yang lebih luas :
المصالح الملاىمة لمقاصد الشارع ولا يشهد لها اصل خاص
ٌ باعتبار او بالالغاء
Maslahah yang selaras dengan tujuan syar’i (pembuat
hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya
atau penolakannya.
6.
Abd al-wahhab al-khallaf memberi rumusan
berikut :
انٌها مصلحة لم يرد عن الشارع دليل لاعتبار ها او
لالغاءها
Mashlahah mursalah ialah maslahat yng tida ada
dalil syara’ dating untuk mengakuinya atau menolaknya.
7.
Muhammad Abu zahrah member
definisi yang hampir sama dengan rumusan jalal al-din di atas,yaitu :
هي المصالح الملاىمة لمقاصد الشارع الاسلامي ولا يشهد
لها اصل خاصٌ باعتبار او بالالغاء
Maslahah yang selaras dengan tujuan syari’at islam
dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau
penolakannya.
Dari
beberapa rumusan definisi di atas, dapat di tarik kesimpulan tentang hakikat
dari mashlahah mursalah tersebut, sebagai berikut :
1.
Ia adalah sesuatu yang baik
menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan
keburukan bagi manusia.
2.
Apa yang baik menurut akal
itu,juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
3.
Apa yang baik menurut akal dan
selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara
khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk
syara’ yang mengakuinya.[1]
B. Maslahah mursalah sebagai metode ijtihad
Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah ini tidaklah menggunakannya
tanpa syarat. Akan tetapi ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Yang
merupakan syarat umum penggunaan metode ini hanya ketika tidak ditemukannya
nash sebagai bahan rujukan.
Adapun
syarat syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan menggunakan Mashlahah
mursalah, diantaranya:
Ø Mashlahah
mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum,dalam arti dapat di
terima oleh akal sehat bahwa ia betul – betul mendatangkan manfaat bagi manusia
dan menghindarkan dari mudarart dari manusia secara utuh.
Ø Yang di
nilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul - betul telah sejalan dengan maksud dan tujuan syara’
dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umat
manusia.
Ø Yang
menilai akal sehat sebagai suatu
mashlahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik
dalam bentuk nash Al-qur’an dan sunah,maupun ijma’ ulama’ terdahulu.
Ø Mashlahah
mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya
masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini ,maka umat akan berada dalam
kesempitan hidup , dengan arti harus di tempuh untuk menghindarkan umat dari
kesulitan.[2]
C. Perbedaan pendapat Ulama’ atas mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad
Dalam menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad ini, terdapat dua kelompok Ulama yang berbeda pendapat. Yang mana masing –
masing kelompok ini mengemukakan
argumentasi, yang kebanyakan berbentuk argumen rasional.
Argumentasi
kalangan ulama’ yang mengggunakan mashlahah mursalah ,diantaranya:
1)
Adanya takrir (pengakuan) Nabi
atas penjelasan mu’adz ibn jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila
tidak menemukan Ayat al-qur’an dan sunah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus
hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu
yang di tangkap mashlahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk
mencari dukungan nash.
2)
Suatu mashlahah bila telah nyata
kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (syar’i), maka
menggunakan mashlahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i,meskipun
tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
3)
Bila dalam keadaan tertentu untuk
menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metode mashlahah mursalah, maka akan
menempatkan umat dalam kesulitan, seperti ditegaskan dalam surat al-baqarah (2)
:185 dan Nabi pun menghendaki umatnya untuk menempuh cara yang lebih mudah
dalam kehidupannya. [3]
Dalam bukunya Abdul Wahhab Khallaf yang berjudul Ilmu Ushul Fiqh
menyebutkan ada dua alasan metode ini di gunakan. Pertama, bahwa kemaslahatan
ummat manusia ini selalu barudan tidak habis – habisnya. Kedua, orang yang
meneliti pembentukan hukum oleh para sahabat, tabi’in, dan para mujtahid
lainnya, maka ia akan merasa jelas bahwasannya mereka telah mensyariatkan
berbagai hukum untuk merealisir kemaslahatan umum, bukan karena adanya dalil
yang mengakuinya. [4]
Sedangkan
kelompok ulama’ yang menolak mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad
mengemukakan argumentasi yang di antaranya :
1.
Bila suatu mashlahah ada petunjuk
syar’i yang membenarkannya atau yang disebut mu’tabarah,maka ia termasuk dalam
umunya qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia
tidak mungkin di sebut sebagai suatu mashlahah. Mengamalkan sesuatu yang di
luar petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al-qur’an atau
sunah Nabi. Hal ini juga berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah nabi.
Padahal Al-qur’an dan sunah Nabi menyatakan bahwa Al-qur’an dan sunah itu telah
sempurna dan meliputi semuanya.
2.
Menggunakan mashlahah dalam ber
ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas
dalam menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama
hukum. Hal yang demikian menyalahi prinsip penetapan hukum dalam islam,yaitu
“tidak boleh merusak, juga tidak ada yang di rusak”.
3.
Seandainya di perbolehkan ber
ijtihad dengan mashlahah yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan
memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alas an berubahnya
waktu dan berlainannya tempat berlakunya hukum syara’ ,juga berlainan antara
seseorang dengan orang lain. Dalam keadaan demikian, tidak aka nada kepastian
hukum. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan
lestari serta meliputi semua umat islam.[5]
Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya juga menyebutkan ada dua alasan ulama
yang menolak kehujjahanya. Pertama, bahwa Syariat telah memelihara segala
kemaslahatan dalam nash – nashnya dan dengan petunjuk berupa qiyas. Kedua,
bahwa pembentukan hukum atas dasar kemutlakan kemaslahatan yang juga berarti
bisa membuka pintu masuk hawa nafsu orang yang menurutinya.[6]
D. Macam macam mashlahah
Dalam membicarakan mashlahah sebagai dalil hukum,pada umumnya ulama'
lebih dahulu meninjaunya dari segi ada aatau tidaknya kesaksian syara' (syahadah asy-syar'i)
terhadapnya, baik kesaksian tersebut
bersifat mengakui sebagai al-mashlahah ataupun tidak. Dalam hal
ini jumhur ulama' membagi al-mashlahah kepada tiga macam, yaitu sebagai
berikut.
1.
Al-mashlahah yang terdapat
kesaksian syara' dalam mengakui keberadaannya (ma syahid asy-syar'
lii'tibariha)
Al-mashlahah dalam bentuk ini
menjelma menjadi landasan dalam al-qiyas (analogi).mashlahah ini biasa disebut
dengan istilah al-mashlahah al-mu'tabarah.semua ulama sepakat menyatakan,
al-mashlahah ini merupakan hujjah
(landasan hukum).
2.
Al-mashlahah yang terdapat
kesaksian syara' yang membatalkannya/menolaknya (ma syahid asy-syar' li
buthlaniha)
Mashlahah yang ini bathil,dalam
arti tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena ia bertentangan dengan nash.mashlahah ini dapat disebut dengan
al-mashlahah al-mulgha.
3.
Al-mashlahah yang tidak dapat
kesaksian syara' ,baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya dalam bentuk
nash tertentu (ma lam yasyhad asy-syar' la libuthlaniha nash muayyan). [7]
KESIMPULAN
Bahwasanya metode ijtihad dengan cara maslahah mursalah ini terdapat
beberapa ulama yang berbeda pendapat akan kehujjahanya. Yang mana masing –
masing ulama ini mempunyai alasan tersendiri.
Adapun jika metode ini di pakai, maka terdapat pula syarat – syarat yang
harus di penuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan MA, H Abdul
Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Sinar Grafika:Jakarta
Khallaf Wahhab, Abdul. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Toha
Putra Group: Semarang
Syarifudin, Dr. H
Amir. 2011. Ushul Fiqh Jilid II. Kencana Media Group: Jakarta.
Makalah Maslahah Mursalah