Friday, 19 September 2014

BERSUCI DARI HADATS

MAKALAH
BERSUCI DARI HADATS
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits-hadits Ibadah
Dosen Pengampu:  Sya’roni, M.Ag.





Disusun oleh:
Abdul Muhaimin (124211014)


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG

2014
BAB I
PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang
Pada permulaan bab dalam ilmu fikih umumnya membahas tentang thaharah. Dimana inti dari bab-bab tersebut adalah membahas tentang kesucian. Mengapa? Jawabannya tentu karena suci atau thaharah merupakan kunci dari ibadah seorang muslim.
Dalam makalah ini, penyusun akan membahas tentang beberapa hadits yang berkaitan dengan bersuci dari hadats.
Tentunya dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karenanya, besar harapan penyusun atas segala saran dan masukan dari pembaca.
II.                Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hadits-hadits tentang bersuci dari hadats berikut penjelasannya?
2.      Bagaimana perbedaan ulama tentang bersuci dari hadats?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadits – Hadits Tentang Bersuci dari Hadats
1.      Wudhu’
Hadits Riwayat Abi Hurairah
عَنْ أَبَى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
Dari Abi Hurairah berkata Nabi bersabda: tidak diterima sholat seseorang yang berhadats sehingga dia berwudhu.” Berkata seseorang dari hadramaut “apakah yang dimaksud hadats itu wahai Abi Hurairoh?” beliau menjawab “ialah angin atau kentut.”[1]
·         Penjelasan Hadits
لا تُقْبَلُ (Tidak diterima) telah diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ahmad dari Abdurrazzaq, "Allah tidak menerima.'" Maksud "menerima" di sini adalah sesuatu yang sinonim dengan kata sah atau mencukupi.
أحْدَثَ (Berhadats) maksudnya adalah sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur). Hanya saja Abu Hurairah menafsirkan makna hadats dengan makna yang lebih khusus, untuk memberi peringatan akan hadats ringan (mukhaffafah) dari yang berat (mughallazhah). Di samping itu, kedua perkara yang disebutkan oleh Abu Hurairah ini lebih banyak terjadi pada orang yang sedang shalat daripada hadats-hadats lainnya. Adapun macam-macam hadats yang masih diperselisihkan oleh para ulama seperti menyentuh kemaluan, menyentuh wanita, muntah dalam kadar yang banyak serta berbekam, ada kemungkinan beliau (Abu Hurairah) berpandangan bahwa wudhu tidak batal karena hal-hal tersebut. Pandangan ini pula yang diikuti oleh penulis (Imam Bukhari) sebagaimana akan dijelaskan dalam bab, "Pandangan yang mengatakan bahwa wudhu tidak batal kecuali oleh sesuatu yang keluar dari dua jalan".
يَتَوَضَّأَ (Berwudhu), maksudnya dengan menggunakan air ataupun sesuatu yang dapat menggantikannya. Diriwayatkan oleh Imam An- Nasa'i dengan sanad (jalur periwayatan) yang kuat dari Abu Dzarr, dari Nabi SAW, "Debu yang baik adalah wudhu seorang muslim." Di sini syariat telah menamakan tayamum sebagai wudhu, karena tayamum itu dapat menggantikan kedudukan wudhu. Maka yang dimaksud diterima- nya shalat seseorang yang berhadats bila ia telah berwudhu, adalah jika ia menyempurnakan pula syarat-syarat shalat yang lainnya.[2]
Wallahu A’lam.

Hadits Riwayat Ibn Abbas
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَمَضْمَضَ بِهَا وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَجَعَلَ بِهَا هَكَذَا أَضَافَهَا إِلَى يَدِهِ الْأُخْرَى فَغَسَلَ بِهِمَا وَجْهَهُ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُمْنَى ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُسْرَى ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَرَشَّ عَلَى رِجْلِهِ الْيُمْنَى حَتَّى غَسَلَهَا ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً أُخْرَى فَغَسَلَ بِهَا رِجْلَهُ يَعْنِي الْيُسْرَى ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ
Dari Ibnu 'Abbas, bahwa dia berwudlu', ia mencuci wajahnya, lalu mengambil air satu cidukan tangan dan menggunakannya untuk berkumur dan istintsaq, lalu ia kembali mengambil satu cidukan tangannya dan menjadikannya begini -menuangkan pada tangannya yang lain-, lalu dengan kedua tangannya ia membasuh wajahnya, lalu mengambil air satu cidukan dan membasuh tangan kanannya, lalu kembali mengambil air satu cidukan dan membasuh tangannya yang sebelah kiri. Kemudian mengusap kepala, lalu mengambil air satu cidukan dan menyela-nyela kaki kanannya hingga membasuhnya, lalu mengambil air satu cidukan lagi dan membasuh kaki kirinya. Setelah itu ia berkata, "Seperti inilah aku lihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu." [3]
·         Penjelasan Hadits
أَنَّهُ تَوَضَّأَ  (Bahwasanya ia berwudhu), dalam riwayat yang dinukil oleh Abu Dawud terdapat tambahan sebelum lafazh ini. Abu Dawud meriwayatkannya dari jalur Hisyam bin Sa'id dari Zaid bin Aslam, dimana dikatakan,
أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ  (Beliau mengambil satu ciduk air). Secara lahiriah, bahwa berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung serta mengeluar- kannya termasuk dalam lingkup membasuh muka. Akan tetapi yang dimaksud dengan membasuh muka pada kali pertama seperti tersebut dalam hadits ini lebih umum daripada makna yang wajib (membasuhnya) maupun sunah, karena beliau kembali membasuh muka untuk kedua kalinya setelah berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung serta mengeluarkannya; dan kali ini dilakukan dengan satu cidukan air tersendiri. Pada hadits ini terdapat pula keterangan untuk menyatukan antara berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung serta mengeluarkannya dengan satu kali cidukan. Demikian pula dengan membasuh muka dengan kedua tangan sekaligus apabila dilakukan dengan satu kali cidukan, sebab satu tangan kadang tidak dapat meliputi semua bagian muka.
disebutkan bahwa mengusap kepala di sini menggunakan air tersendiri, maka keterangan ini dijadikan pegangan oleh mereka yang mengatakan bahwa air musta 'mal (bekas dipakai) hukumnya adalah suci. Akan tetapi dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, "Kemudian beliau mengambil air dengan tangannya lalu mengibaskan tangannya, setelah itu ia mengusap kepalanya." Ditambahkan oleh Imam An-Nasa'i dari riwayat Abdul Aziz Ad-Darawardi dari Zaid, "Dan kedua telinganya sebanyak satu kali." Dari riwayat Ibnu Ajian dikatakan, "Bagian dalamnya dengan telunjuk dan bagian luarnya dengan ibu jari." Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, "Beliau memasukkan kedua jari telunjuknya pada kedua telingannya."
فَرَشَّ عَلَى رِجْلِهِ (memerciki kakinya), maksudnya membasahi kakinya sedikit demi sedikit sampai dapat dikatakan membasuh.
حَتَّى غَسَلَهَا  (Hingga beliau membasuhnya) adalah penjelasan yang menegaskan bahwa beliau tidak hanya sekedar memercikkan air ke kakinya. Adapun hadits yang disebutkan dalam riwayat Abu Dawud dan Hakim, "Beliau memerciki kaki kanannya, dan saat itu beliau sedang memakai sandal. Kemudian beliau mengusap kaki tersebut dengan kedua tangannya, satu tangan di bagian atas kaki dan satu lagi di bagian bawah sandal." Sesungguhnya yang dimaksud "mengusap" di sini adalah meratakan air ke seluruh bagian (kaki). Sementara telah dinukil riwayat shahih yang menyatakan bahwa beliau SAW pernah berwudhu sambil memakai sandal, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Bukhari dalam pembahasan selanjutnya dari hadits Ibnu Umar. Sedangkan pernyataan dalam hadits ini "Di bawah sandal" jika tidak pahami sebagai kata kiasan dari kaki, maka termasuk riwayat syadz (menyelisihi riwayat yang lebih kuat). Perawinya adalah Hisyam bin Sa'ad, seorang yang tidak diterima bila meriwayatkan hadits secara sendirian, lalu bagaimana lagi jika riwayatnya itu menyelisihi riwayat yang lebih kuat?
Hadits ini telah dijadikan dalil oleh Ibnu Baththal untuk menunjukkan bahwa air musta 'mal (yang telah dipakai bersuci) adalah suci hukumnya. Karena satu anggota wudhu bila dibasuh satu kali, maka air bekas membasuh yang masih tersisa di tangan akan menyentuh anggota wudhu berikutnya. Demikian pula cidukan air yang berada di tangan bila dibasuhkan kepada anggota wudhu, maka dianggap sebagai air musta 'mal bagi anggota wudhu yang dibasuh (karena sebelumnya ia telah tersentuh oleh tangan). Namun perkataan ini dapat dijawab dengan mengatakan, "Selama air itu belum berpisah dengan tangan tidak dapat dikatakan air musta 'mal. Akan tetapi, jawaban ini butuh analisa yang lebih mendalam lagi." [4]

2.      Mandi
Hadits Riwayat Abi Hurairah
عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ: أَنَّ نَبِيَّ اللهِ ﷺ قَالَ: (إِذَا جَلَسَ بَيۡنَ شُعَبِهَا الۡأَرۡبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدۡ وَجَبَ عَلَيۡهِ الۡغُسۡلُ) وَفِي حَدِيثِ مَطَرٍ: (وَإِنۡ لَمۡ يُنۡزِلۡ)
Dari Abu Hurairah: Bahwa Nabi Allah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jika seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya, lalu ia bersungguh-sungguh padanya, maka sungguh dia wajib mandi.”
Di dalam hadits Mathar, “Meskipun tidak keluar mani.” [5]
·         Penjelasan Hadits
إِذَا جَلَسَ, apabila seorang laki-laki yang dimaklumi dari konteks pembicaraan duduk, (yakni berada di atas).
شُعَبِهَا الۡأَرۡبَعِ, berada di atas tubuh istrinya. Yang dimaksud dengan شُعَبِهَا الۡأَرۡبَعِ ialah kedua tangan tangan dan kedua kakinya.
ثُمَّ جَهَدَهَا, kemudian si suami membuatnya bekerja keras melalui gerakannya, begitu pula sebaliknya. Ungkapan ini merupakan kata sindiran yang menggambarkan tentang hubungan seksual.
Bersetubuh merupakan hal yang mewajibkan mandi jinabah, sebab hal tersebut berarti bersatunyakedua jenis kelamin suami dan istri dalam hubungan jasmani, baik keluar mani atau tidak. Pada permulaan Islam syariat memberikan rukhshah (kemudahan) bahwa yang diwajibkan mandi hanyalah karena mengeluarkan air mani, seperti yang diterangkan dalam hadits sebelumnya, yaitu :المأ من الماء[6]  (mandi itu karena mengeluarkan air mani) .
Kemudian syariat memerintahkan mandi karena memasukkan zakar ke dalam farji, sebab pengertian jinabah menurut istilah yang dipakai oleh orang Arab secara hakiki ditujukan pada persetubuhan, sekalipun tidak mengeluarkan air mani.[7]
3.      Tayamum
Hadits Riwayat Aisyah
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ أَسْمَاءَ قِلَادَةً فَهَلَكَتْ فَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا فَوَجَدَهَا فَأَدْرَكَتْهُمْ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَصَلَّوْا فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ لِعَائِشَةَ جَزَاكِ اللَّهُ خَيْرًا فَوَاللَّهِ مَا نَزَلَ بِكِ أَمْرٌ تَكْرَهِينَهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ ذَلِكِ لَكِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ خَيْرًا
Dari 'Aisyah bahwa ia meminjam kalung kepada Asma' lalu hilang. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seseorang untuk mencarinya hingga kalung itu pun ditemukan. Lalu datanglah waktu shalat sementara mereka tidak memiliki air, namun mereka tetap melaksanakannya. Setelah itu mereka mengadukan peristiwa itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, hingga turunlah ayat tayamum. Usaid bin Al Hudlair lalu berkata kepada 'Aisyah, "Semoga Allah membalasmu dengan segala kebaikan. Sungguh demi Allah, tidaklah terjadi suatu peristiwa menimpa anda yang anda tidak sukai kecuali Allah menjadikannya untuk anda dan Kaum Muslimin sebagai kebaikan." [8]
·         Penjelasan Hadits
Ibnu Rasyid berkomentar tentang bab di atas, "Seakan-akan Imam Bukhari memposisikan bahwa gugurnya perintah tayamum adalah karena tidak ada debu, tentunya setelah adanya syariat tayamum. Seakan-akan ia berkata, "Hukum mereka tentang tidak adanya "air" yang dipakai bersuci adalah seperti hukum kita dalam masalah tidak adanya air dan debu yang dipakai untuk bersuci." Untuk itu nampaklah kesesuaian antara hadits tersebut dengan judul bab, karena dalam hadits tersebut tidak ada keterangan bahwa mereka tidak menemukan debu, tetapi hanya dijelaskan bahwa mereka tidak menemukan air saja. Untuk itu hadits di atas menjadi dalil, bahwa shalat tetap wajib dilaksanakan meskipun tidak ada air atau debu yang dipakai untuk bersuci. Adapun dasar yang menjadi dalil adalah mereka melaksanakan shalat tersebut disertai keyakinan bahwa hal itu adalah wajib. Seandainya shalat waktu itu tidak boleh, maka Nabi SAW pergi akan melarangnya. Demikian pendapat yang dikatakan oleh Imam Syafi'i, Ahmad, mayoritas ahli Hadits dan sebagian besar ulama madzhab Maliki. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang wajibnya mengulangi shalat jika mendapatkan air. [9]

B.     Perbedaan Pendapat Para Ulama tentang Bersuci dari Hadats

1.      Tentang sebab-sebab hadats
·         “kemih dan tahi yang keluar dari dua jalan qubul dan dubur menggugurkan wudhu. Keluar sesuatu yang jarang terjadinya, seperti keluar ulat, cacing, batu, mazi, juga demikian”
Hukum yang pertama ini diijma’i para mujtahidin. Hukum yang kedua ditolak oleh Imam Malik. Abu Hanifah mengecualikan angin yang keluar dari qubul.
·         “keluar mani tidak menggugurkan air sembahyang, walaupun mewajibkan mandi”
Imam Syafi’i: berpendapat demikian, itu yang lebih shahih karena keluar mani.
Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad : menggugurkan wudhu karena keluar segala tersebut yakni baik yang nadir, maupun yang biasa. [10]
2.      Tentang Wudhu
·         Niat diwajibkan pada wudhu, mandi, dan tayamum. Maka tidak sah thaharah jika tidak dengan niat.”
Disetujui oleh kebanyakan imam. [11]
Abu Hanifah: wudhu, mandi tidak memerluak niat. Hanya tayamum saja yang menggunakan niat.
3.      Tentang Mandi
·         “tidak ada perbedaan antara faraj anak adam dan faraj binatang.”
Imam Syafi’I, Malik, dan Ahmad: menyetujuinya
Abu Hanifah: tidak wajib mandi karena menyetubuhi binatang, kecuali inzal.
·         “keluar mani mewajibkan mandi, walaupun tidak orgasme.”
Imam Ahmad dan Malik : jika tidak disertai dengan orgasme tidak wajib mandi.” [12]

4.      Tentang Tayammum
·         “bertayamun dengan tanah, dikala taka da air atau takut memakai air diperbolehkan.”
Hukum ini diijma’I oleh para ulama.
Hanya yang diperselisihkan pada apa yang dimaknai kata “Sha’id”.  Imam Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa Sho’id itu berarti turab (tanah). Karena itu tidak boleh bertayamum melainkan dengan tanah yang suci atau pasir yang berdebu. Sedang pendapat Imam Abu Hanifah dan Malik bahwa sha’id itu adalah bumi. Jadi itu boleh bertayamum dengan bumi dan dengan segala bagian-bagiannya, walaupun dengan batu yang tak ada tanah diatasnya, atau dengan pasir yang tak berdebu. Imam Malik berkata “boleh bertayammum dengan segala yang berhubungan dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan.”
·         “mencari air lebih dahulu syarat sah tayamum.”
Pendapat ini disetujui Imam Malik.
Abu Hanifah: tidak mensyaratkan mencari air. [13]

C.    Analisis
a.      Hadats
Hadats adalah suatu keadaan badan yang tidak suci yang dapat dihilangkan dengan cara wudhu, mandi, atau tayammum. Maka jika dalam keadaan seperti itulah seseorang tidak dibolehkan untuk melakukan ibadah yang menuntut untuk suci dari hadats tersebut.
b.      Cara Bersuci dari hadats
Dalam bersuci dari hadats dibagi menjadi tiga cara:
1.      Bersuci dari hadats kecil dengan cara wudhu. Contoh hadats ini seperti keluar air kencing, keluar madzi atau wadzi, kentut dll.
2.      Bersuci dari hadats besar dengan cara mandi. Contoh hadats ini seperti keluar air mani, dan bersetubuh.
3.      Bila ada sebab-sebab tertentu seperti tidak ada air, sakit, atau kehawatiran maka wudhu atau mandi tersebut dapat diganti dengan tayamum.









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Cara bersuci itu ada tiga macam:
·         Wudhu
·         Mandi
·         Tayamum
Macam-macam hadats ada dua macam:
·         Hadats kecil (dihilangkan dengan wudhu)
·         Hadats besar (dihilangkan dengan mandi)
Apabila ada sebab-sebab tertentu seperti tidak ada air, sakit, atau kehawatiran maka wudhu atau mandi tersebut dapat diganti dengan tayamum.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail. Shahih al-Bukhari. dar al kutub ilmiah: Lebanon
Al Asqolani,Ibn Hajar. 2002. Terjemah Fathul Bari. Pustaka Azzam: Jakarta
An-Naisaburi, Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Al Qusyairi. 1992. Shahih Muslim. Dar al-Kutub Ilmiah: Beirut
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Madzhab. PT Pustaka Rizki Putra: Semarang
Alawi Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman an-Nuri. 1994. Ibanatul Ahkam Syarah Bulugh al-Maram. Sinar Baru Algensindo: Bandung






[1] HR. Bukhari no. 135, Kitabul Wudhu’ bab laa tuqbalu sholatun bi ghoiri thohirin
[2] Ibn Hajar Al Asqolani, Terjemah Fathul Bari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) hal. 11-12
[3] HR. Bukhori no 140, Kitab Wudhu bab ghusli alwajhi bil yadaini min ghorofatin wahidatin
[4] Ibn Hajar Al Asqolani, Terjemah Fathul Bari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) hal. 30-32
[5] HR. Muslim no. 348, bab naskh al-maa’ min al-maa’. Wa wujub al-ghusli bi al-tiqo’I al-khitanain
[6] HR. Muslim no. 343, bab innama al-maa’ min al-maa’
[7] Alawi Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman an-Nuri, Ibanatul Ahkam Syarah Bulugh al-Maram, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994) Hal. 182
[8] HR. Bukhori dalam bab idza lam yajid maa’an wa laa turoban, kitab al-wudhu’,
[9] Ibn Hajar Al Asqolani, Terjemah Fathul Bari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) hal. 604
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Madzhab, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001) hal. 22
[11] Ibid, hal. 27            
[12] Ibid, hal. 31
[13] Ibid, hal. 33

0 comments:

Post a Comment