MAKALAH
BERSUCI DARI HADATS
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits-hadits Ibadah
Dosen Pengampu: Sya’roni, M.Ag.
Disusun oleh:
Abdul Muhaimin (124211014)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Pada permulaan bab dalam ilmu fikih umumnya membahas
tentang thaharah. Dimana inti dari bab-bab tersebut adalah membahas
tentang kesucian. Mengapa? Jawabannya tentu karena suci atau thaharah merupakan
kunci dari ibadah seorang muslim.
Dalam makalah ini, penyusun akan membahas tentang
beberapa hadits yang berkaitan dengan bersuci dari hadats.
Tentunya dalam makalah ini masih banyak kekurangan
dan kesalahan. Oleh karenanya, besar harapan penyusun atas segala saran dan
masukan dari pembaca.
II.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
hadits-hadits tentang bersuci dari hadats berikut penjelasannya?
2. Bagaimana
perbedaan ulama tentang bersuci dari hadats?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hadits – Hadits Tentang Bersuci dari Hadats
1. Wudhu’
Hadits
Riwayat Abi Hurairah
عَنْ أَبَى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى
يَتَوَضَّأَ قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ
قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
Dari Abi Hurairah berkata Nabi bersabda: tidak diterima sholat seseorang
yang berhadats sehingga dia berwudhu.” Berkata seseorang dari hadramaut “apakah
yang dimaksud hadats itu wahai Abi Hurairoh?” beliau menjawab “ialah angin atau
kentut.”[1]
·
Penjelasan Hadits
لا تُقْبَلُ (Tidak
diterima) telah diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ahmad dari Abdurrazzaq,
"Allah tidak menerima.'" Maksud "menerima" di sini adalah
sesuatu yang sinonim dengan kata sah atau mencukupi.
أحْدَثَ (Berhadats)
maksudnya adalah sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur). Hanya
saja Abu Hurairah menafsirkan makna hadats dengan makna yang lebih khusus,
untuk memberi peringatan akan hadats ringan (mukhaffafah) dari yang berat
(mughallazhah). Di samping itu, kedua perkara yang disebutkan oleh Abu Hurairah
ini lebih banyak terjadi pada orang yang sedang shalat daripada hadats-hadats
lainnya. Adapun macam-macam hadats yang masih diperselisihkan oleh para ulama
seperti menyentuh kemaluan, menyentuh wanita, muntah dalam kadar yang banyak
serta berbekam, ada kemungkinan beliau (Abu Hurairah) berpandangan bahwa wudhu
tidak batal karena hal-hal tersebut. Pandangan ini pula yang diikuti oleh
penulis (Imam Bukhari) sebagaimana akan dijelaskan dalam bab, "Pandangan
yang mengatakan bahwa wudhu tidak batal kecuali oleh sesuatu yang keluar dari
dua jalan".
يَتَوَضَّأَ (Berwudhu),
maksudnya dengan menggunakan air ataupun sesuatu yang dapat menggantikannya.
Diriwayatkan oleh Imam An- Nasa'i dengan sanad (jalur periwayatan) yang kuat
dari Abu Dzarr, dari Nabi SAW, "Debu yang baik adalah wudhu seorang
muslim." Di sini syariat telah menamakan tayamum sebagai wudhu, karena
tayamum itu dapat menggantikan kedudukan wudhu. Maka yang dimaksud diterima-
nya shalat seseorang yang berhadats bila ia telah berwudhu, adalah jika ia
menyempurnakan pula syarat-syarat shalat yang lainnya.[2]
Wallahu
A’lam.
Hadits
Riwayat Ibn Abbas
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ
وَجْهَهُ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَمَضْمَضَ بِهَا وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ أَخَذَ
غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَجَعَلَ بِهَا هَكَذَا أَضَافَهَا إِلَى يَدِهِ الْأُخْرَى
فَغَسَلَ بِهِمَا وَجْهَهُ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا
يَدَهُ الْيُمْنَى ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ
الْيُسْرَى ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَرَشَّ
عَلَى رِجْلِهِ الْيُمْنَى حَتَّى غَسَلَهَا ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً أُخْرَى
فَغَسَلَ بِهَا رِجْلَهُ يَعْنِي الْيُسْرَى ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ
Dari Ibnu 'Abbas, bahwa dia berwudlu', ia mencuci wajahnya, lalu
mengambil air satu cidukan tangan dan menggunakannya untuk berkumur dan
istintsaq, lalu ia kembali mengambil satu cidukan tangannya dan menjadikannya
begini -menuangkan pada tangannya yang lain-, lalu dengan kedua tangannya ia
membasuh wajahnya, lalu mengambil air satu cidukan dan membasuh tangan
kanannya, lalu kembali mengambil air satu cidukan dan membasuh tangannya yang
sebelah kiri. Kemudian mengusap kepala, lalu mengambil air satu cidukan dan
menyela-nyela kaki kanannya hingga membasuhnya, lalu mengambil air satu cidukan
lagi dan membasuh kaki kirinya. Setelah itu ia berkata, "Seperti inilah
aku lihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu." [3]
·
Penjelasan Hadits
أَنَّهُ تَوَضَّأَ (Bahwasanya ia berwudhu), dalam riwayat yang dinukil oleh Abu Dawud
terdapat tambahan sebelum lafazh ini. Abu Dawud meriwayatkannya dari jalur
Hisyam bin Sa'id dari Zaid bin Aslam, dimana dikatakan,
أَخَذَ غَرْفَةً
مِنْ مَاءٍ (Beliau mengambil satu ciduk air). Secara
lahiriah, bahwa berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung serta
mengeluar- kannya termasuk dalam lingkup membasuh muka. Akan tetapi yang
dimaksud dengan membasuh muka pada kali pertama seperti tersebut dalam hadits
ini lebih umum daripada makna yang wajib (membasuhnya) maupun sunah, karena
beliau kembali membasuh muka untuk kedua kalinya setelah berkumur-kumur dan
memasukkan air ke hidung serta mengeluarkannya; dan kali ini dilakukan dengan
satu cidukan air tersendiri. Pada hadits ini terdapat pula keterangan
untuk menyatukan antara berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung serta
mengeluarkannya dengan satu kali cidukan. Demikian pula dengan membasuh muka
dengan kedua tangan sekaligus apabila dilakukan dengan satu kali cidukan, sebab
satu tangan kadang tidak dapat meliputi semua bagian muka.
disebutkan bahwa mengusap kepala di sini menggunakan air tersendiri, maka
keterangan ini dijadikan pegangan oleh mereka yang mengatakan bahwa air musta
'mal (bekas dipakai) hukumnya adalah suci. Akan tetapi dalam riwayat Abu Dawud
disebutkan, "Kemudian beliau mengambil air dengan tangannya lalu
mengibaskan tangannya, setelah itu ia mengusap kepalanya." Ditambahkan
oleh Imam An-Nasa'i dari riwayat Abdul Aziz Ad-Darawardi dari Zaid, "Dan
kedua telinganya sebanyak satu kali." Dari riwayat Ibnu Ajian dikatakan,
"Bagian dalamnya dengan telunjuk dan bagian luarnya dengan ibu jari."
Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, "Beliau memasukkan kedua jari
telunjuknya pada kedua telingannya."
فَرَشَّ عَلَى
رِجْلِهِ (memerciki kakinya), maksudnya
membasahi kakinya sedikit demi sedikit sampai dapat dikatakan membasuh.
حَتَّى غَسَلَهَا (Hingga beliau
membasuhnya) adalah penjelasan yang menegaskan bahwa beliau tidak hanya sekedar
memercikkan air ke kakinya. Adapun hadits yang disebutkan dalam riwayat Abu
Dawud dan Hakim, "Beliau memerciki kaki kanannya, dan saat itu beliau
sedang memakai sandal. Kemudian beliau mengusap kaki tersebut dengan kedua
tangannya, satu tangan di bagian atas kaki dan satu lagi di bagian bawah
sandal." Sesungguhnya yang dimaksud "mengusap" di sini adalah
meratakan air ke seluruh bagian (kaki). Sementara telah dinukil riwayat shahih
yang menyatakan bahwa beliau SAW pernah berwudhu sambil memakai sandal, sebagaimana
yang disebutkan oleh Imam Bukhari dalam pembahasan selanjutnya dari hadits Ibnu
Umar. Sedangkan pernyataan dalam hadits ini "Di bawah sandal" jika
tidak pahami sebagai kata kiasan dari kaki, maka termasuk riwayat syadz
(menyelisihi riwayat yang lebih kuat). Perawinya adalah Hisyam bin Sa'ad,
seorang yang tidak diterima bila meriwayatkan hadits secara sendirian, lalu
bagaimana lagi jika riwayatnya itu menyelisihi riwayat yang lebih kuat?
Hadits ini telah dijadikan dalil oleh Ibnu Baththal untuk menunjukkan
bahwa air musta 'mal (yang telah dipakai bersuci) adalah suci hukumnya. Karena
satu anggota wudhu bila dibasuh satu kali, maka air bekas membasuh yang masih
tersisa di tangan akan menyentuh anggota wudhu berikutnya. Demikian pula
cidukan air yang berada di tangan bila dibasuhkan kepada anggota wudhu, maka
dianggap sebagai air musta 'mal bagi anggota wudhu yang dibasuh (karena
sebelumnya ia telah tersentuh oleh tangan). Namun perkataan ini dapat dijawab
dengan mengatakan, "Selama air itu belum berpisah dengan tangan tidak
dapat dikatakan air musta 'mal. Akan tetapi, jawaban ini butuh analisa yang
lebih mendalam lagi." [4]
2. Mandi
Hadits Riwayat Abi Hurairah
عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ: أَنَّ
نَبِيَّ اللهِ ﷺ قَالَ: (إِذَا جَلَسَ بَيۡنَ شُعَبِهَا الۡأَرۡبَعِ ثُمَّ
جَهَدَهَا، فَقَدۡ وَجَبَ عَلَيۡهِ الۡغُسۡلُ) وَفِي حَدِيثِ مَطَرٍ: (وَإِنۡ لَمۡ
يُنۡزِلۡ)
Dari Abu Hurairah: Bahwa Nabi Allah shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jika seorang suami telah duduk di
antara empat cabang istrinya, lalu ia bersungguh-sungguh padanya, maka sungguh
dia wajib mandi.”
·
Penjelasan Hadits
إِذَا جَلَسَ,
apabila seorang laki-laki yang dimaklumi dari konteks pembicaraan duduk, (yakni
berada di atas).
شُعَبِهَا الۡأَرۡبَعِ,
berada di atas tubuh istrinya. Yang dimaksud dengan شُعَبِهَا الۡأَرۡبَعِ
ialah kedua tangan tangan dan kedua kakinya.
ثُمَّ جَهَدَهَا,
kemudian si suami membuatnya bekerja keras melalui gerakannya, begitu pula
sebaliknya. Ungkapan ini merupakan kata sindiran yang menggambarkan tentang
hubungan seksual.
Bersetubuh merupakan hal yang
mewajibkan mandi jinabah, sebab hal tersebut berarti bersatunyakedua jenis
kelamin suami dan istri dalam hubungan jasmani, baik keluar mani atau tidak.
Pada permulaan Islam syariat memberikan rukhshah (kemudahan) bahwa yang
diwajibkan mandi hanyalah karena mengeluarkan air mani, seperti yang
diterangkan dalam hadits sebelumnya, yaitu :المأ من الماء[6] (mandi itu karena mengeluarkan air mani) .
Kemudian
syariat memerintahkan mandi karena memasukkan zakar ke dalam farji, sebab
pengertian jinabah menurut istilah yang dipakai oleh orang Arab secara hakiki
ditujukan pada persetubuhan, sekalipun tidak mengeluarkan air mani.[7]
3. Tayamum
Hadits Riwayat Aisyah
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ
أَسْمَاءَ قِلَادَةً فَهَلَكَتْ فَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلًا فَوَجَدَهَا فَأَدْرَكَتْهُمْ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمْ
مَاءٌ فَصَلَّوْا فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ
لِعَائِشَةَ جَزَاكِ اللَّهُ خَيْرًا فَوَاللَّهِ مَا نَزَلَ بِكِ أَمْرٌ
تَكْرَهِينَهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ ذَلِكِ لَكِ وَلِلْمُسْلِمِينَ فِيهِ خَيْرًا
Dari 'Aisyah bahwa ia meminjam kalung kepada Asma' lalu hilang. Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seseorang untuk mencarinya
hingga kalung itu pun ditemukan. Lalu datanglah waktu shalat sementara mereka
tidak memiliki air, namun mereka tetap melaksanakannya. Setelah itu mereka
mengadukan peristiwa itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, hingga
turunlah ayat tayamum. Usaid bin Al Hudlair lalu berkata kepada 'Aisyah, "Semoga
Allah membalasmu dengan segala kebaikan. Sungguh demi Allah, tidaklah terjadi
suatu peristiwa menimpa anda yang anda tidak sukai kecuali Allah menjadikannya
untuk anda dan Kaum Muslimin sebagai kebaikan." [8]
·
Penjelasan Hadits
Ibnu
Rasyid berkomentar tentang bab di atas, "Seakan-akan Imam Bukhari
memposisikan bahwa gugurnya perintah tayamum adalah karena tidak ada debu,
tentunya setelah adanya syariat tayamum. Seakan-akan ia berkata, "Hukum
mereka tentang tidak adanya "air" yang dipakai bersuci adalah seperti
hukum kita dalam masalah tidak adanya air dan debu yang dipakai untuk
bersuci." Untuk itu nampaklah kesesuaian antara hadits tersebut dengan
judul bab, karena dalam hadits tersebut tidak ada keterangan bahwa mereka tidak
menemukan debu, tetapi hanya dijelaskan bahwa mereka tidak menemukan air saja.
Untuk itu hadits di atas menjadi dalil, bahwa shalat tetap wajib dilaksanakan
meskipun tidak ada air atau debu yang dipakai untuk bersuci. Adapun dasar yang
menjadi dalil adalah mereka melaksanakan shalat tersebut disertai keyakinan
bahwa hal itu adalah wajib. Seandainya shalat waktu itu tidak boleh, maka Nabi
SAW pergi akan melarangnya. Demikian pendapat yang dikatakan oleh Imam Syafi'i,
Ahmad, mayoritas ahli Hadits dan sebagian besar ulama madzhab Maliki. Tetapi
mereka berbeda pendapat tentang wajibnya mengulangi shalat jika mendapatkan
air.
[9]
B. Perbedaan Pendapat Para Ulama tentang Bersuci dari
Hadats
1. Tentang sebab-sebab hadats
·
“kemih dan tahi
yang keluar dari dua jalan qubul dan dubur menggugurkan wudhu. Keluar sesuatu
yang jarang terjadinya, seperti keluar ulat, cacing, batu, mazi, juga demikian”
Hukum yang pertama ini
diijma’i para mujtahidin. Hukum yang kedua ditolak oleh Imam Malik. Abu Hanifah
mengecualikan angin yang keluar dari qubul.
·
“keluar mani
tidak menggugurkan air sembahyang, walaupun mewajibkan mandi”
Imam Syafi’i:
berpendapat demikian, itu yang lebih shahih karena keluar mani.
Abu Hanifah, Malik, dan
Ahmad : menggugurkan wudhu karena keluar segala tersebut yakni baik yang nadir,
maupun yang biasa. [10]
2. Tentang Wudhu
·
Niat diwajibkan
pada wudhu, mandi, dan tayamum. Maka tidak sah thaharah jika tidak dengan
niat.”
Abu Hanifah: wudhu,
mandi tidak memerluak niat. Hanya tayamum saja yang menggunakan niat.
3. Tentang Mandi
·
“tidak ada
perbedaan antara faraj anak adam dan faraj binatang.”
Imam Syafi’I, Malik,
dan Ahmad: menyetujuinya
Abu Hanifah: tidak
wajib mandi karena menyetubuhi binatang, kecuali inzal.
·
“keluar mani
mewajibkan mandi, walaupun tidak orgasme.”
4. Tentang Tayammum
·
“bertayamun
dengan tanah, dikala taka da air atau takut memakai air diperbolehkan.”
Hukum ini diijma’I oleh
para ulama.
Hanya yang
diperselisihkan pada apa yang dimaknai kata “Sha’id”. Imam Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa Sho’id
itu berarti turab (tanah). Karena itu tidak boleh bertayamum melainkan
dengan tanah yang suci atau pasir yang berdebu. Sedang pendapat Imam Abu
Hanifah dan Malik bahwa sha’id itu adalah bumi. Jadi itu boleh
bertayamum dengan bumi dan dengan segala bagian-bagiannya, walaupun dengan batu
yang tak ada tanah diatasnya, atau dengan pasir yang tak berdebu. Imam Malik
berkata “boleh bertayammum dengan segala yang berhubungan dengan bumi, seperti
tumbuh-tumbuhan.”
·
“mencari air
lebih dahulu syarat sah tayamum.”
Pendapat ini disetujui
Imam Malik.
C. Analisis
a. Hadats
Hadats
adalah suatu keadaan badan yang tidak suci yang dapat dihilangkan dengan cara
wudhu, mandi, atau tayammum. Maka jika dalam keadaan seperti itulah seseorang
tidak dibolehkan untuk melakukan ibadah yang menuntut untuk suci dari hadats
tersebut.
b. Cara Bersuci dari hadats
Dalam
bersuci dari hadats dibagi menjadi tiga cara:
1. Bersuci
dari hadats kecil dengan cara wudhu. Contoh hadats ini seperti keluar air kencing,
keluar madzi atau wadzi, kentut dll.
2. Bersuci
dari hadats besar dengan cara mandi. Contoh hadats ini seperti keluar air mani,
dan bersetubuh.
3. Bila
ada sebab-sebab tertentu seperti tidak ada air, sakit, atau kehawatiran maka
wudhu atau mandi tersebut dapat diganti dengan tayamum.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Cara
bersuci itu ada tiga macam:
·
Wudhu
·
Mandi
·
Tayamum
Macam-macam
hadats ada dua macam:
·
Hadats kecil
(dihilangkan dengan wudhu)
·
Hadats besar
(dihilangkan dengan mandi)
Apabila
ada sebab-sebab tertentu seperti tidak ada air, sakit, atau kehawatiran maka
wudhu atau mandi tersebut dapat diganti dengan tayamum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail. Shahih
al-Bukhari. dar al kutub ilmiah: Lebanon
Al Asqolani,Ibn Hajar. 2002. Terjemah Fathul Bari.
Pustaka Azzam: Jakarta
An-Naisaburi, Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj Al Qusyairi. 1992.
Shahih Muslim. Dar al-Kutub Ilmiah: Beirut
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001.
Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Madzhab. PT Pustaka Rizki Putra: Semarang
Alawi Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman
an-Nuri. 1994. Ibanatul Ahkam Syarah Bulugh al-Maram. Sinar Baru
Algensindo: Bandung
[1]
HR. Bukhari no. 135, Kitabul Wudhu’ bab laa tuqbalu sholatun bi ghoiri thohirin
[2]
Ibn Hajar Al Asqolani, Terjemah Fathul Bari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002)
hal. 11-12
[3]
HR. Bukhori no 140, Kitab Wudhu bab ghusli alwajhi bil yadaini min ghorofatin
wahidatin
[4] Ibn Hajar Al Asqolani,
Terjemah Fathul Bari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) hal. 30-32
[5] HR. Muslim no. 348, bab
naskh al-maa’ min al-maa’. Wa wujub al-ghusli bi al-tiqo’I al-khitanain
[6] HR. Muslim no. 343, bab
innama al-maa’ min al-maa’
[7] Alawi Abbas al-Maliki dan
Hasan Sulaiman an-Nuri, Ibanatul Ahkam Syarah Bulugh al-Maram, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 1994) Hal. 182
[8] HR. Bukhori dalam bab idza
lam yajid maa’an wa laa turoban, kitab al-wudhu’,
[9] Ibn Hajar Al Asqolani,
Terjemah Fathul Bari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) hal. 604
[10]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar
Madzhab, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001) hal. 22
[11] Ibid, hal. 27
[12]
Ibid, hal. 31
[13]
Ibid, hal. 33
BERSUCI DARI HADATS