PAHALA BAGI ORANG YANG BERIMAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:Tafsir ayat akidah
Dosen Pengampu: Mundir,
M. Ag
Disusun oleh:
1.
Ana Nurul Malichah
(124211024)
2.
Abdul Muhaimin (124211014)
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Al-quran adalah sumber hukum bagi umat manusia selain hadist dalam
menunjukkan bagaimana sikap kita dalam keseharian. Dalam memahami alquran
tentunya semua orang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan masing-masing, begitu juga
seorang mufasir dalam menafsirkan al-quran sesuai dengan keahlian mereka dalam
bidangnya tidak menutup kemungkinan tafsir tersebut akan condong kepada
keahlian mufasir tersebut.
Dalam kesempatan ini pemakalah mencoba menjelaskan tafsir tentang
ayat ibadah dalam surat al-baqarah: 62 dengan menggunakan berbagai macam tafsir
diantarannya, tafsir al-qurthubi, al-mizan, madjid an-nur, fi dzilalil quran
dan ibnu katsir dari berbagai macam tafsir tersebut banyak memiliki perbedaan
dan berbagai macam pemikiran dalam memaknai ayat. Semoga menjadikan kita semua
menambah wawasan baru dan bisa membuka cakrawala keilmuan agar selalu
berkembang menjadi yang lebih baik.
II.
POKOK PEMBAHASAN
A.
Asbab al-Nuzul Surat al-Baqarah: 62
B.
Tafsiran Surat Menurut al-Qurthubi, Thabathaba’i, Hasbi ash-Shiddieqy, Sayyid Quthb dan Ibnu Katsir.
III.
PEMBAHASAN
A.
Asbab al-Nuzul Surat al-Baqarah: 62
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd 3“t»|Á¨Z9$#ur šúüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& y‰YÏã óOÎgÎn/u‘ Ÿwur ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRt“øts† ÇÏËÈ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim dan al-‘Adni dalam
musnadnya dari Ibni Abi Najih yang bersumber dari mujahid, bahwa Salman berkata: ”saya pernah
bertanya kepada Nabi saw tentang pemeluk agama yang pernah saya
anut dan saya pun menerangkan cara sholat dan ibadah mereka. Maka turunlah ayat
“innalalladzina aamanuu walladziina haaduu”
sampai akhir ayat.
Dikemukakan oleh al-Wahidi dari Abdillah bin Katsir dari Mujahid, berkatalah ia: ”ketika Salman menceritakan
teman-temannya kepada Rasulullah saw, lalu bersabdalah beliau: ”mereka semua
dineraka”. Berkatalah Salman: ”seakan-akan bumi gelap gulita bagiku, namun setelah
turun ayat ” innalladzina aamanuu walladziina haaduu” sampai akhir ayat, bumi menjadi
terang benderang bagiku”.[1]
B.
Tafsiran Surat Menurut al-Qurthubi, Thabathaba’i, Hasbi
ash-shiddieqy, Sayyid Quthb, dan Ibnu Katsir
1.
Menurut al-Qurthubi dalam tafsir al-Jami’ li ahkam
al-quran
Dalam ayat ini dibahas delapan masalah:
Pertama: firman Allah swt, انّ الّذين امنوا “sesungguhnya orang-orang mukmin”. Maknanya adalah
yang percaya kepada nabi Muhammad saw. Imam Sufyan berpendapat: orang-orang
mukmin pada ayat diatas artinya adalah orang-orang yang munafik, seakan-akan
firman Allah swt disini mengatakan: ”sesungguhnya orang-orang yang kelihatannya
beriman”. Oleh karena itulah orang-orang yang beriman dalam ayat ini
disandingkan dengan orang Yahudi, Nasrani dan para Shabi’in. barulah kemudian
menerangkan hukum orang yang beriman kepada Allah swt dan hari kiamat dari
semua golongan yang disebut di atas.
Kedua: firman Allah swt, والّذي هادوا” dan orang-orang Yahudi”.
Maknanya adalah orang-orang yang mengikuti Yahudi, dan Yahudi adalah sebuah
nisbat yang disandarkan kepada seseorang yang benama Yahudza, dan Yahudza ini
diyakini sebagai anak tertua dari nabi Ya’kub as. Lalu orang Arab menganti
huruf dzal pada nama itu menjadi dal, dengan alasan jika nama asing dijadikan
sebuah nama Arab maka lafadznya akan diganti dengan yang terdekat.
Ketiga: firman Allah swt, والنّصرى ”orang-orang Nashrani”.
Pada ayat diatas menggunakan kata jamak dari kata Nashrani yang digunakan
selain dari Nashaaraa, dan yang paling sering disebut adalah Nashraaniyyun.
Kemudian ada yang berpendapat bahwa mereka dinamakan dengan Nashraniyyun
karena mereka dinisbatkan kepada sebuah desa yang bernama naashirah.
Desa inilah yang pernah dijadikan tempat tinggal nabi Isa as, dan pernah
dinisbatkan kepada desa ini dengan disebut Isa an-Nashiri. Maka ketika para
sahabatnya juga dinisbatkan kepada desa ini mereka menyebutnya dengan Nashaaraa.
Pendapat ini diutarakan diantaranya oleh ibnu abbas dan qatadah.
Keempat: firman Allah swtوالصّبئين dari kata shaba’a secara etimologi arti
dari shaba’a adalah keluar dari satu agama kepada agama yang lain. Oleh karena
itulah mengapa kalangan Arab menyebutkan orang yang masuk Islam dengan
menggunakan shaba’a. dan shaabi’uuna adalah orang-orang yang keluar dari
agama ahlul kitab.
Kelima: para ulama tidak ada yang berbeda
pendapat bahwa ahlul kitab adalah kaum Yahudi dan Nashrani, karena kitab suci
yang diturunkan kepada merekalah maka dibolehkannya menikahi para wanita dari
golongan mereka dan memakan makanan yang disembelih oleh mereka.
Keenam: firman Allah swt:ءامن artinya adalah mempercayai, dan kata من sebelumnya menempati tempat nasab sebagai
pengganti dari kata الّذين diawal ayat. Huruf fa’dalam
ayat ini dituliskan karena kemisteriusan kata من
Kalimat فلهم اجرهم adalah subyek kata, sedangkan predikat kata انّ diawal ayat.
Penyebutan keimanan kepada Allah swt dan hari akhir bukan hanya pengkhususan
keimanan hanya kepada Allah swt dan hari akhir saja, akan tetapi masuk juga
didalamnya keimanan kepada para rasul, malaikat, seluruh kitab, serta qadha dan
qodar.
Ketujuh: kata من dapat digabungkan dengan bentuk tunggal ataupun dengan
bentuk jamak, maka dhomir yang kembali padanya dibolehkan juga berbentuk
tunggal ataupun jamak.
Kedelapan: ada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas
mengatakan bahwa firman Allah swt, انّ الّذين ءامنو والّذين هادوا “sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
yahudi,” telah mansukh (dihapus) oleh firman Allah swt yang lain, yaitu: ومن يبتغ غير الأسلم دينا فلن يقبل منه ”barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)dari padanya”.(al-imran)[2]
2.
Menurut Thabathaba’i dalam Tafsir al-Mizan
Ayat
ini mula-mula menyebut orang-orang beriman, kemudian mengatakan, ”barang siapa mengimani
Allah..” konteksnya memperlihatkan bahwa kata-kata yang terakhir menunujukkan
iman sejati, dan memperlihatkan bahwa kata, ”mereka yang beriman”, (yang
disebutkan pertama-tama) menunjukkan mereka yang menyebut diri sendiri
orang-orang beriman. Ayat ini mengatakan bahwa Allah tidak memandang penting
nama, seperti orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristiani
atau orang-orang Shabii. Manusia tidak dapat memperoleh pahala dari Allah dan
juga dia tidak dapat diselamatkan dari hukuman semata-mata karena memberikan
kepada diri sendiri. Kemuliaan dan kebahagiaan tergantung sepenuhnya pada
kondisi kesejatian dan ketulusan menghamba: nama, kata sifat, sama sekali tidak
membawa kebaikan kecuali kalau didukung dengan iman yang benar dan amal-amal
shalih. Kaidah ini berlaku untuk semua manusia, sejak dari nabi-nabi sampai
manusia yang paling bawah posisinya. Perhatikan bagaimana Allah memuji
nabi-nabinya dengan segenap sifat yang indah dan istimewa kemudian mengatakan: dan
jika mereka menjadikan yang lain (sebagai sekutunya) tak syak lagi apa yang
mereka lakukan itu akan sia-sia bagi mereka(qs.al-an’am:88)
Juga
mengambarkan status tinggi dan martabat mulia nabi suci saw dan
sahabat-sahabatnya kemudian mengakhirinya dengan kata-kata ”Allah telah berjanji
kepada orang-orang diantara mereka yang beriman dan beramal sholih, ampunan dan
pahala yang besar (Qs.al-Fath: 29). Renungkan makna dari kata ”diantara
mereka”
Ada
banyak ayat dengan jelas memperlihatkan bahwa kemuliaan dan kehormatan disisi Allah
bergantung pada realitas bukan pada tampilan.
Hadis: Salman
al-Farisi berkata, ”aku bertanya kepada nabi saw tentang kaum dari agama yang
aku peluk (sebelum masuk Islam) dan aku mengambarkan (praktik) doa dan ibadah
mereka. Kemudian turun wahyu: ”sesungguhnya mereka beriman dan mereka yang
yahudi….” (ad-durr al-mantsur). Menurut Thabathaba’I dengan rentetan perawi
yang berbeda mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kaum Salman.
Sebuah diskusi
historis
Abu Raihan
al-Biruni menulis dalam sebuah buku al-atsarul al-baqiyah: ”yang paling
awal dikenal diantara mereka (yaitu orang-orang yang mengaku nabi) adalah Yudhasaf.
Dia muncul di India pada akhir tahun pertama pemerintahan Tahmurth dan dia
membawa naskah Persia. Dia mendakwahkan agama Shabii dan banyak orang
mengikutinya. Raja-raja Bishdadian dan sebagian orang Kayanis yang tinggal di Balkh
sangat menghormati matahari, bulan, bintang gemintang dan planet-planet beserta
elemen-elemen lain, dan percaya bahwa obyek-obyek astronomis ini sangat sacral.
Ini berlanjut sampai Zoroaster datang pada akhir tahun ke 30 pemerintahan Peshtasav.
Sisa-sia kaum Shabii sekarang ada di Harran dari Harran inilah mereka
mendapatkan nama baru mereka Harraniyyah. Juga dikatakan bahwa tata nama ini
mengandung arti haran putra Tarukh (terah) dan saudara lelaki Ibrahim as,
karena dia diduga adalah salah seorang pemimpin keagamaan mereka dan pengikut
paling setianya.
“Abdul masih
bin Ishaq al-Kindi menulis buku tentang kaum Shabii: ”sudah menjadi kepercayaan
umum bahwa mereka suka berkurban manusia, meskipun dewasa ini mereka tidak
dapat melakukannya dengan terang-terangan. Tetapi sejauh yang kami ketahui
mereka adalah penganut monoteisme mereka percaya bahwa Tuhan bersih dari segala
cacat, kekurangan dan keburukan, mereka mengambarkan tuhan dengan bahasa yang
negatif, bukan dengan bahasa yang positif, sebagai contoh:mereka mengatakan, Allah
tidak dapat didefinisikan atau tidak dapat dilihat, dia tidak zalim atau tidak
penindas. Menurut mereka nama-nama indah Allah dapat digunakan untuk Allah, tetapi
hanya dalam pengertian kiasan karena sifat Tuhan tidak dapat benar-benar
mengambarkan realitas.
Mereka
percaya bahwa manajemen segala urusan dilakukan dan dikendalikan oleh langit
dan benda-benda samawi. langit dan benda-benda samawi adalah benda-benda hidup
yang memiliki karekteristik seperti bicara, mendengar dan melihat. Mereka
memuja cahaya dan benda-benda astronomis. Salah satu peninggalan mereka adalah
kubah diatas relung di masjid umayyah, Damaskus ini adalah rumah ibadah mereka
dan pada zaman itu bahkan orang Yunani dan Romawi pun mengikuti agama yang
sma.kemudian tempat ini dikuasai oleh kaum Yahudi, dan kaum Yahudi mengubah
tempat ini menjadi sinagog. Kemudian, kaum Kristiani mengambil alih tempat ini
dan mengubahnya menjadi gereja. Setelah itu datang kaum muslim dan mereka
mengubah menjadi masjid.
Kaum
shabii memiliki banyak tempat ibadah, dan berhala-berhala mereka dibangun
diberi beragam nama matahari dan dibentuk dengan pola-pola tertentu, seperti
kuil ba’lbak didalam kuil ini ada berhala matahari, berhala qiran yang
berkaitan dengan bulan dan dibangun dengan bentuk bulan seperti syal yang
dipakai dikepala dan bahu. Mereka juga mengklaim bahwa ka’bah dan
berhala-berhalanya adalah milik mereka bahwa orang-orang mekah menyembah
berhala adalah kaum shabii. Menurut mereka berhala lat dan uzza menggambarkan
saturnus dan venus. Mereka mempunyai banyak nabi dalam hierarki mereka, hermes
mesir, agadhimus, walles, Pythagoras dan babaswar (kakek plato dari pihak ibu)
dan banyak lainya. Sebagian dari mereka tidak makan ikan untuk mencegah
berbuih, tidak juga makan unggas karena unggas selalu panas. Mereka tidak
menggunakan bawang putih karena bawang putih membuat sakit kepala dan
membarakan darah dan air mani (yang menjadi sumber kelangsungan ras manusia)
dan mereka menjahui kacang, buncis, biji-bijian ini adalah yang pertama
berkecambah di tempurung kepala manusia. Mereka menunaikan tiga shalat wajib
yaitu saat matahari terbit (delapan rakaat), saat tengah hari (lima rakaat) dan
pada jam ke tiga malam. Mereka sujud tiga kali dalam setiap rakaat. Mereka
menunaikan dua shalat bukan wajib pada jam kedua dan jam kesembilan dari hari.
Mereka
shalat dengan thaharah dan wudhu, mereka juga mandi besar setelah janabah
tetapi mereka tidak menyunat anak-anak lelaki mereka karena mereka tidak
mendapatkan perintah untuk melakukan sunat. Kebanyakan hukum mereka yang
berkenaan dengan hukum perkawinan dan hukum pidana adalah seperti syariat Islam,
sementara aturan tentang memegang mayat adalah sama dengan aturan Taurat.
Mereka melakukan kurban untuk bintang gemintang,berhala-berhala mereka dan
kuil-kuil, hewan-hewan kurban dibunuh oleh pendeta dan dukun yang membaca di
dalamya masa depan manusia memberikan kurban dan menjawab
pertanyaan-pertanyaannya.
“Hermes
kadang kala disebut idris yang dalam Taurat disebut Akhnukh. Sebagian dari
mereka mengatakan bahwa Yudhasaf adalah Hermes. Sebagian lainnya mengatakan
bahwa harraniyyah yang sekarang ini bukanlah kaum shabii yang riil tetapi
mereka ini dalam buku-buku disebut sebagai penyembah berhala. Kaum shabii
adalah orang-orang israil yang tetap tinggal di Babylon saat kebanyakan dari
mereka kembali ke Yerusalem pada masa pemerintahan Cyrus dan Artaxerxes. Mereka
condong pada keyakinan-keyakinan Zoroastrian maupun kepada agama Nebuhadnezzar.
Praktek ini melahirkan suatu perbaruan yudaisme dan zoroastrianisme seperti
Samaritan Syria. Kebanyakan dari mereka adalah di wasith dan daerah-daerah
pedusunan Irak sekitar Ja’far dan Jamidah. Mereka mengkritik dan menentang
harraniyyah beserta agama mereka. Dengan kekecualian beberapa hal sama sekali
tidak ada kesamaan antara dua agama ini kaum shabii menghadap kearah kutub
utara ketika shalat sedangkan kaum harraniyyah menghadap kearah kutub selatan.
Sebagian
ahli kitab mengatakan bahwa Methuselah memiliki satu putra (selain lamech)
namanya adalah Shabi, dan shabi ini menurunkan kaum shabii. Sebelum syariat
didakwahkan dan sebelum yudhasaf datang mengikuti keyakinan samanian mereka
tinggal di bagian timur dunia dan menyembah berhala. Mereka mempercayai
keabadian alam semesta dan transmigrasi jiwa. Menurut mereka langit akan rubuh
dalam sebuah hampaan yang tak ada ujungnya dan itulah sebabnya mengapa langit
bergerak memutar-mutar.[3]
3.
Menurut Prof. Dr.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam Tafsir al-Qur’anul Madjid an-Nur
Sesunguhnya
orang-orang yang mengaku beriman kepada Rasulullah (muslim) dan menerima segala
kebenaran yang dibawa nabi Muhammad dari Allah swt. Semua orang yang mengikuti
syariat Musa atau yang lebih popular disebut pemeluk agama yahudi karena
kebanyakan pemeluknya dari keturunan Yahuza ibn Ya’kub.
Semua orang
yang memeluk agama yang dibawa oleh nabi Isa as, yang bagi orang nasara (nasrani)
sendiri dikenal dengan nama yesus atau orang yang membangsakan diri kepada Isa
ibn maryam. Nama nasara diambil dari tempat kelahiran isa, nasirah (nazaret)
tempat singgah Maryam binti Imran ibunda Isa.
Semua
orang yang mengakui keesaan Allah dan mengakui sebagian nabi tetapi mereka juga
berkeyakinan bahwa bintang-bintang dapat memberi pengaruh kepada kehidupan
manusia. Ada juga yang berpendapat, shabiin adalah nama golongan yang mengakui
syariat nabi-nabi terdahulu. Siapa saja diantara golongan-golongan tersebut (muslim,
yahudi, nasrani, dan shabiin) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kebangkitan dan mengerjakan amalan-amalan saleh, dipandang benar-benar beragama
dan berhak meneriman pahala.
Mereka
yang beriman kepada allah,hari kebangkitan dan mengerjakan amal saleh akan
memperoleh pahala atas amalannya dari Tuhan. Mereka tidak perlu mengkhawatirkan
apa-apa saat menghadapi haru-biru hari kiamat dan tidak perlu merisaukan apa
yang pernah mereka lakukan di dunia.
Yang
dimaksud iman disini adalah iman sebagaimana yang dijelaskan oleh rasul
Muhammad saat malaikat Jibril bertanya kepada beliau. Orang yang dipandang
telah beriman sesuai dengan pengertian seperti itu adalah orang yang memeluk Islam.
Orang yang tidak beriman kepada Muhammad saw dan al-quran tidaklah dinamakan
mukmin.
Dengan
ayat ini Allah menjelaskan bahwa semua orang yang memeluk agama yahudi terhadap
dirinya sendiri. Jika lisannya berdusta maka anggota badan yang lain akan
menuturkan yang benar. Ketika itu mereka mengatakan ”demi Allah, wahai tuhan
kami, kami tidak mempersekutukanmu. ”tetapi tangan dan kaki mereka menuturkan
apa yang sebenarnya dilakukan di dunia. Ketika kedustaan disangkal oleh
kesaksian kaki dan tangannya sendiri, mereka pun menyesal dan malu, yang
kemudian menginginkan dirinya ditanam saja di tanah seperti halnya binatang, sehingga
tidak perlu menghadapi azab Allah.[4]
4.
Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Yang
dimaksud dengan ”orang-orang yang beriman” ialah kaum muslimin. Dan ”al-ladziina
haaduu” ialah orang-orang yahudi yang boleh jadi bermakna kembali kepada Allah
dan boleh jadi bermakna bahwa mereka adalah anak-anak yahudza. Sedangkan,
nashara adalah pengikut nabi Isa as. Adapun shabiin, menurut pendapat yang
lebih kuat ialah golongan musyrikin Arab sebelum diutusnya nabi Muhammad saw
yang berada dalam keragu-raguan terhadap tindakan kaumnya yang menyembah
berhala, lalu mereka mencari akidah sendiri yang mereka sukai dan kemudian
mendapat petunjuk kepada aqidah tauhid. Para ahli tafsir berkata, ”sesunguuhnya
mereka itu melakukan ibadah menurut agama hanif semula, agama nabi Ibrahim, dan
mereka meningglkan kata peribadatan kaumnya, hanya saja mereka tidak mendakwahi
kaumnya itu. Kaum musyrikin berkata tentang mereka itu, ”sesungguhnya mereka
shabuu,yakni meninggalkan agama nenek moyangnya, sebagaimana yang mereka katakana
terhadap kaum muslimin sesudah itu. Karena itulah mereka disebut shabi’ah. ”pendapat
ini lebih kuat dari pada pendapat yang mengatakan bahwa mereka itu penyembah
bintang sebagaimana disebutkan dalam beberapa tafsir.
Ayat
ini menetapkan bahwa siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah dan
hari akhir serta beramal sholeh, mereka akan mendapatkan pahala disisi Tuhan-Nya,
mereka tidak merasa khawatir dan tidak bersedih hati. Yang ditekankan disini
adalah hakikat akidah bukan fanatisme golongan atau bangsa. Dan hal ini tentu
saja sebelum diutusnya nabi Muhammad saw. Adapun sesudah diutusnya beliau,maka
bentuk iman yang terakhir ini sudah ditentukan.[5]
5.
Menurut Ibnu Katsir dalam Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir
Setelah
pada ayat-ayat terdahulu Allah menjelaskan kondisi kaum kafir, kaum munafik, yahudi,
orang-orang yang menyalahi berbagai perintahnya dan melampui batas dengan
melakukan perbuatan yang tidak diizinkan Allah atas mereka, juga menjelaskan
siksa yang menimpa mereka, maka kini dia mengingatkan bahwa walaupun demikian
ada pula umat terdahulu yang baik dan menaati berbagai perintah Allah
sebagaimana yang telah diperintahkannya dan bagi mereka balasan yang baik. Demikianlah
kejadian itu terus berlanjut hingga hari kiamat.
IV.
KESIMPULAN
Ø Menurut Imam al-Qurthubi terdapat delapan masalah:
1)
Yang
disebut orang-orang yang beriman dalam ayat ini disandingkan dengan orang
yahudi, nasrani dan para shabi’in.
2)
Kata
yahudi yang disandarkan kepada seseorang yang bernama yahudza ini diyakini
sebagai anak tertua dari nabi Ya’kub as.
3)
Penyebutan
nashaaraa bisa jadi sebuah nisbat dari desa yang bernama naashirah, atau bisa
juga sebuah nisbat dari desa nashraan yang berada di Syam.
4)
Shaba’a
secara etimologi adalah keluar dari satu agama kepada agama yang lain. Dan
shaabi’uun adalah orang-orang yang keluar dari agama ahlul kitab.
5)
Yang
dinamakan ahlul kitab adalah kaum yahudi dan nashrani.
6)
Penyebutan
keimanan kepada Allah swt dan hari akhir bukan hanya pengkhususan keimanan
hanya kepada Allah swt dan hari akhir saja, akan tetapi masuk juga didalamnya
keimanan kepada para rosul, malaikat, seluruh kitab, serta qadha dan qadar.
7)
Kata
man dapat digabungkan dengan bentuk tunggal atau jamak maka dhomir yang
kembali dibolehkan berbentuk tunggal ataupun jamak.
8)
Dalam surat al-baqorah dimansukh dengan surat al-imran
Ø Tafsir al-Mizan: sumber yang dipercaya dari berbagai penulis bahwa
agama shabii merupakan perbauran yudaisme dan zoroastrianisme yang di bumbui
beberapa elemen keyakinan-keyakinan harraniyyah nampaknya lebih sesuai dalam
konteks ini pada akhirnya ayat ini dengan jelas menyebutkan satu demi satu
kelompok-kelompok yang mengikuti sebuah agama wahyu.
Ø Tafsir Madjid an-Nur: yang dimaksud iman disini adalah iman
sebagaimana yang dijelaskan oleh rasul Muhammad saat Jibril bertanya kepada
beliau. Orang yang dipandang beriman sesuai dengan pengertian sesuai itu adalah
orang yang memeluk Islam. Orang yang tidak beriman kepada Muhammad saw dan
al-quran tidaklah dinamakan mukmin. Bahwa semua orang yang memeluk agama
yahudi, jika lisanya berdusta maka anggota badan yang lain akan menuturkan yang
benar.
Ø Tafsir Fidzilalil Quran: siapa saja diantara mereka yang beriman
kepada Allah dan hari akhir serta beramal sholeh mereka akan mendapatkan pahala
disisi tuhanya, maka mereka jangan merasa khawatir dan tidak bersedih hati
karena yang ditekankan disini adalah hakekat akidah bukan fanatisme golongan
atau bangsa.
Ø Tafsir Ibnu Katsir: kondisi kaum kafir, munafik, yahudi, orang-orang
yang menyalahi berbagai perintahnya dan melampui batas dengan melakukan perbuatan
yang tidak diizinkan Allah atas mereka juga akan mendapat siksa yang menimpa
mereka. Walaupun demikian ada pula umat terdahulu yang baik dan menaati
berbagai perintah Allah sebagaimana yang diperintahkannya mereka akan mendapat
balasan yang baik.
V.
DAFTAR PUSTAKA
As-syuyuti, Jalaluddin (Mustofa.
H. a) . riwayat turunya ayat-ayat suci al-quran. 1993. Semarang: cv asy
Syifa’.
Al-qurthubi, Syaikh Imam (Fathurrahman, Ahmad Hotib, Nashirul Haq).
al-Jami’ Li Ahkaam al-Quran. 2010. Jakarta: Pustaka Azzam.
Thabathaba’I, Muhammad Husain Sayid (Ilyas Hasan). al-Mizan.
2010. Jakarta: Lentera.
Ash-siddoeqy, Tengku Muhammad Hasbi. Tafsir al-Quranul Madjid
an-Nur jilid 1. 2011. Jakarta: Cakrawala Publishing.
Syahid, Sayyid Quthb (As’ad
Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah). Tafsir Fi Zhilalil
Quran dibawah Naungan al-Quran jilid 1. 2000. Jakarta: Gema Insani Press.
Ar-rifa’I, Muhammad Nasib (Syihabuddin). Taisiru al-Aliyyul
Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Kasir jilid 1. 1999. Jakarta: Gema Insani Press.
[1] Jalaludin
as-suyuti,lubabun nuquuli fii asbabin nuzuul(drs.h.a mustofa.riwayat turunya
ayat-ayat suci al-quran).semarang:cv asyifa’.1993.h.85
[2] Syaih imam al-qurthubi’(fathurrahman,ahmad hotib,nashirul haq).al-jami’
li ahkaam al-quran.Jakarta:pustaka azzam.2010.h.940
[4]
Prof.dr.teungku Muhammad hasbi ash-shiddieqy.tafsir al-quranul madjid an-nur
jilid 1. Jakarta:cakrawala publishing.2011.h.81
[5]
Syahid sayyid quthb,(as’ad yasin,abdul aziz salim basyarahil,muchotob hamzah).tafsir
fi zhilalil quran dibawah naungan al-quran jilid 1.jakarta:gema insani
press.2000.h.131
PAHALA BAGI ORANG YANG BERIMAN